Adat Istiadat Suku Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam
Ibu Kota Nanggroe Aceh Darussalam adalah Banda Aceh
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau
Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa
Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi
atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh
Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer
proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian
selatan mengunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara,
dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan
bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan
bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian
selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan
bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut
dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah
berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh
Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan
dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian
tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah
lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat
rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi
yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe).
Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan
pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat
Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat
perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun
1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh
berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang
mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian
dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut sumber sejarah narasi
lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat
kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua
Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho
dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian
menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian
berpindah-pindah ke tempat-tempat lain
BudayaPengelompokan
budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau
disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara
lain melalui bahasa purba yakni; Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga
ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli. Budaya
Imuem Peut (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang
beragama Hindu. Budaya Tol Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang
datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan
Arab. Budaya Tok Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran Hindu
yang telah memeluk agama Islam. Dalam keseluruhan budaya tersebut
diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureung Aceh yang berarti
orang Aceh.
Musik
Alat Musik Tradisional Aceh
Alat musik tradisional merupakan sejumlah alat yang digunakan untuk mengiringi suatu kegiatan adat di suatu wilayah tertentu. Alat musik tradisional Aceh berarti alat musik yang digunakan untuk acara-cara tertentu dalam tradisi masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi sebuah identitas dan kebanggaan ureueng Aceh.
Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya:
Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
Gendang (Geundrang)Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya. Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
Canang
Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya “Canang Trieng”, di Gayo disebut “Teganing”, di Tamiang disebut “Kecapi” dan di Alas disebut dengan “Kecapi Olah”. Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo). Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri. Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan bambu yang telah diraut tipis. Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.
RapaiRapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah
Alat musik tradisional merupakan sejumlah alat yang digunakan untuk mengiringi suatu kegiatan adat di suatu wilayah tertentu. Alat musik tradisional Aceh berarti alat musik yang digunakan untuk acara-cara tertentu dalam tradisi masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi sebuah identitas dan kebanggaan ureueng Aceh.
Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya:
Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
Gendang (Geundrang)Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya. Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
Canang
Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya “Canang Trieng”, di Gayo disebut “Teganing”, di Tamiang disebut “Kecapi” dan di Alas disebut dengan “Kecapi Olah”. Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo). Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri. Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan bambu yang telah diraut tipis. Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.
RapaiRapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah
Tarian
Tarian Suku Aceh
Tari Laweut
Tari Likok Pulo
Tari Pho
Tari Ranup Lampuan
Tari Rapai Geleng
Tari Rateb Meuseukat
Tari Ratoh Duek
Tari Seudati
Tari Tarek Pukat
Tari Laweut
Tari Likok Pulo
Tari Pho
Tari Ranup Lampuan
Tari Rapai Geleng
Tari Rateb Meuseukat
Tari Ratoh Duek
Tari Seudati
Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
Tari Saman
Tari Bines
Tari Didong
Tari Guel
Tari Munalu
Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Lainnya
Tari Ula-ula Lembing
Tari Mesekat
Tari Saman
Tari Bines
Tari Didong
Tari Guel
Tari Munalu
Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Lainnya
Tari Ula-ula Lembing
Tari Mesekat
Pakaian Adat
Rumah Adat
Kepercayaan
individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau
masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk
arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada
arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh
Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter,
terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang
dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan
Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima
ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah
atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah.
Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe
reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang
selalu berada di sebelah timur.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
Senjata Tradisional
Rencong
adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan
bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan
bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan
pisau ataupun pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki
beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rencong
memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat
bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat
berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus
seperti pedang. Rencong dimasukkan ke dalam sarung belati yang terbuat
dari kayu, gading, tanduk, atau terkadang logam perak atau emas. Dalam
pembawaan, rencong diselipkan di antara sabuk di depan perut pemakai.
Rencong
memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat
dari gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat
suci dari Alquran agama Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya
biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan
kuningan atau besi putih sebagai belatinya. Seperti kepercayaan keris
dalam masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh menghubungkan
kekuatan mistik dengan senjata rencong. Rencong masih digunakan dan
dipakai sebagai atribut busana dalam upacara tradisional Aceh.
Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong mewakili simbol
dari basmalah dari kepercayaan agama Islam. Rencong begitu populer di
masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan "Tanah
Rencong".
Adat istiadat adalah sebuah kebudayaan yang sudah menjadi tradisi pada
setiap masyarakat yang sudah menjadi ketentuan daerah tersebut. Masyarakat suku
Aceh sendiri sebagian besar beragama islam, sehingga di sana terdapat beberapa
masjid yang bagus. Tentunya di dalam masjid terdapat Karpet Sajadah Untuk Masjid yang indah
dan menjadikan ruangan lebih cantik. Jika masjid anda belum tercukupi karpet
masjid, kami siap membantu anda kapanpun untuk mendapatkannya. Apabila anda
ingin mengetahui tentang produk karpet kami silahkan kunjungi website kami, di www.aladdinkarpet.com
Sumber:
http://suhendroe.blogspot.com/2010/12/sejarah-budaya-kesenian-adat-istiadat.html
adatsukuaceh.blogspot.com
Sumber:
http://suhendroe.blogspot.com/2010/12/sejarah-budaya-kesenian-adat-istiadat.html
adatsukuaceh.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar